Tawuran Pelajar, Siapa yang peduli.

Menonton pertunjukan jalanan ini memang bergidik ngeri. Para pelajar, khususnya berseragam abu itu, entah setan apa yang merasuk dalam pikiran mereka sehingga mereka kesetanan, membabi buta bertarung dengan lawan-lawannya di jalan raya. Jakarta, di jl. Daan Mogot, area pertarungan itu membuat lingkungan di sekitarnya merasa sangat terganggu. Mereka (pelajar) sama sekali tak ada rasa peduli dan rasa kasihan, atau mengerti tentang kepentingan umum. Miris rasanya, melihat pelajar ini merayakan selesai Ujian Nasional dengan bertawuran ria… batu-batupun berseliweran. Siapapun di dekatnya yang kebetulan berada disana, sial pun akan dialaminya.  Kaca mobilpun pecah, mobil box disemprot cat pilox, dll.

Sepeda motor yang dimanati oleh orang tua mereka, dipacu sekencang-kencangnya sambil mengacungkan celurit, golok, samurai, tongkat, dan benda-benda penghancur. Mungkin mereka terinspirasi film the Patriot. Perang sadis antara Amerika Utara dan Selatan.

“Saya sendiri tidak tahu masalahnya apa, tapi beberapa hari sebelumnya ada teman kami yang dikeroyok. Mereka (SMU Gama) menggunakan gir bekas motor, dan saya bawa celurit hanya untuk jaga diri saja. Saat terjadi tawuran kemarin, saya pake,” ucap pelajar SMA Bokri II Yogyakarta, Febrian (18) yang baru menyelesaikan Ujian Nasional pada 18-20 April kemarin di Mako Polsekta Gondokusuman Yogyakarta, Jum’at (22/4/2011).

Komentar pun bermunculan menanggapi dari persoalan ini. Ada yang menuding sekolah tak becus mengurus siswanya, termasuk gurunya, termasuk Depdiknas. Ada yang menuding masyarakat lah yang memberi peluang. Ada yang mengungkit-ngungkit politis dan contoh buruknya. Menyalahkan sikap represif polisi. Orang tua dan keluarga. Dan seterusnya…

Lalu sebenarnya siapa biang kerok semua ini? Dan bagaimana usaha yang harus dilakukan untuk mengendalikan para remaja-remaja ini? Saya ingin mengajak diskusi Anda….

Pemikiran praktis saya, bagaimanapun pendidikan seseorang bermula dari keluarga. Keluarga lah yang paling memegang peranan penting terhadap pembentukan karakter anak. Orangtua menitipkan ke sekolah bukan berarti segala urusan pendidikan selesai. Terkadang saya melihat bagaimana para orangtua kurang memberikan perhatiannya terhadap perkembangan anak di luar sekolah. Lembaga yang disebut sekolah ini hanya sebagian kecil saja dari pembentukan karakter dan kepribadian.

Sebuah pengalaman pribadi sebagai guru, anak-anak harus disibukkan dengan berbagai aktivitas yang bersifat kreatif. Membangunkan segala potensi yang dimilikinya sehingga lebih berharga. Dengan berkesenian, berolahraga, atau pengembangan karya-karya lainnya adalah langkah yang kiranya akan berdampak positif pada pemanfaatan waktu. Anak akan lebih merasa dirinya sangat berharga. Berikan harapan-harapan yang ada di depan sana. Saya sepertinya berkeyakinan anak-anak tak akan membuang waktu percuma dengan perilaku yang menyimpang.

Komentar Anda????

Tinggalkan komentar