MUDIK artinya kembali ke udik. Bagi banyak orang, maksudnya pulang ke kampung halaman tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Jauh atau dekat itu relatif. Ada orang yang benar-benar pulang ke kampung tempat orang tua atau aki-nininya lahir, ada pula orang yang sekadar pulang dari Jakarta ke Kota Bandung, tempat ia menyelesaikan SMA. Pulang dari Jakarta ke Bandung, Asep kemudian akan melanjutkan mudiknya ke Tasikmalaya, tepatnya ke kampung Cikoneng, tempat neneknya lahir seratus tahun lalu.
Mengapa orang ingin mudik? Untuk kangen-kangenan? Rasanya bukan itu, sebab banyak orang baru merantau kurang dari setahun ketika Lebaran berikutnya tiba. Kangen? Kecup ibunda di dahi pun belum kering, kok sudah kangen? Menghabiskan hari libur? Nah, alasan ini barangkali lebih kena bagi sebagian besar di antara kita. Normalnya hanya pada Idulfitri kita menikmati libur cukup panjang yang diperhitungkan sebagai cuti bersama. Ditambah dengan cuti pribadi yang digabungkan, kita punya waktu luang kira-kira satu atau dua minggu. Maka, kita mudik.
Mudik dimulai dengan memperebutkan karcis bis atau kereta api ekonomi dan mempersiapkan mobil pribadi bagi orang kaya. Kenikmatan setelah mencapai tujuan biasanya cukup untuk menghapus segala jerih payah dan perjuangan kita. Saran tahun ini hanya agar jangan membawa barang banyak-banyak, sebab di kampung sekarang apa pun sudah tersedia, mulai dari jelly drink, biskuit aneka merek, sirup, sampai sandal dan sarung. Bawa saja uangnya, sekalian untuk mentraktir keponakan-keponakan naik odong-odong nanti.
KITA pasti disambut dengan suka cita oleh mereka, keluarga kita sendiri, handai tolan, dan para tetangga. Ibu akan memasak sayur lodeh satu panci dan menggoreng ayam serta membuat tape ketan. Setelah memeluk kita, ibu akan menangis dan mulai bercerita. Tentang Pak Maskip yang anaknya diterima menjadi taruna Akabri di Magelang, tentang Bu Sri yang uangnya dilarikan penyelenggara arisan Lebaran, tentang Surti yang hamil sebelum menikah, tentang Akiong yang ketagihan ekstasi, dan tentang Iis yang ibunya beberapa kali menanyai kita sudah kawin atau belum. Mata ibu sekali lagi berkaca-kaca saat kita berkata sudah naik pangkat dan naik gaji bulan lalu.
Ayah tiba-tiba kini menjadi pendiam dan pendengar yang baik. Kita tahu ayah bangga, tetapi ia gengsi menitikkan air mata. Ayah sesekali cuma menjawab dengan satu-dua patah kata bernada rendah guna menjaga wibawa. Ayah tidak berubah kecuali bertambah tua. Dengan tetap memakai kacamata lama berbingkai batok kura-kura ia tampak lebih tua lagi. Setiap kali mudik kita membelikan ayah kemeja batik baru, tetapi ayah mengenakan kemeja batik yang sama pada setiap hari raya selama lima tahun terakhir ini. Ayah juga menyandang celana panjang, sabuk, sandal, dan peci lama bila pergi salat Id. Sajadah yang digelar ayah adalah sajadahnya sejak belum menikah.
Kakak tersenyum sinis tertahan melihat kita. Bila ada kesempatan ia akan sekali lagi mencercah gaya hidup orang kota. Kakak sama konservatifnya dengan ayah, namun banyak bicara seperti ibu.
Adik, jelas, akan minta duit. Ia tidak mau dibelikan pakaian atau makanan. Dengan duit ia dapat membawa pacarnya makan bakso atau minum es campur. Adik pun lebih suka memilih dan membeli pakaiannya sendiri, kaus oblong ungu bersablon “Metallica”, celana jins low-waist yang mempertontonkan celana dalamnya, serta dompet berantai anjing. Kita seakan-akan menatap diri sendiri pada masa muda saat memandangnya. Kita lebih senang jika ia bergaul dengan Saodah yang berkerudung, tetapi adik mengaku sekarang berpacaran dengan Rina yang rambutnya disemir hijau dan biru serta bersepatu boot. Kita lantas lekas-lekas mencari waktu guna menitipkan nasihat kepada adik.