Arsip Kategori: Endosiana

Diskusi Masalah Gaji Pegawai

Saat ‘ngrumpi’ di luar tugas antara orang Indonesia dan orang Eropa saling menanya perihal penghasilan masing-masing. “Berapa gaji anda dan untuk apa saja uang sejumlah itu?,” tanya orang Indonesia mengawali pembicaraan.

Orang Eropa menjawab, “Gaji saya 3.000 Euro, 1.000 euro untuk tempat tinggal, 1.000 Euro untuk makan, 500 Euro untuk hiburan.”

Lalu sisa 500 Euro untuk apa?” tanya orang Indonesia. Orang Eropa menjawab secara ketus, “Oh … itu urusan saya, Anda tidak perlu bertanya!

Kemudian orang Eropa balik bertanya, “Kalau penghasilan anda?

Gaji saya Rp950 ribu, Rp450 ribu untuk tempat tinggal, Rp350 ribu untuk makan, Rp250 ribu untuk transport, Rp200 ribu untuk sekolah anak, Rp200 ribu, bayar cicilan pinjaman, … Rp100 ribu untuk….“.

Saat orang Indonesia ‘nyrocos’ menjelaskan, orang Eropa menyetop penjelasan itu dan langsung bertanya. “Uang itu jumlahnya sudah melampui gaji anda. Sisanya dari mana?,” kata orang Eropa itu keheranan.

Kemudian, orang Indonesia itu menjawab dengan enteng,”Begini Mister, uang yang kurang, itu urusan saya, anda tidak berhak bertanya-tanya.

Kiamat 2012 dan Ketakutan terhadap Kematian

Isu-Kiamat-2012-maraknya-pseudo-truth-mKiamat 21 Desember 2012 bukanlah isu pertama soal tibanya hari akhir. Datangnya kiamat telah menjadi pertanyaan besar sepanjang peradaban manusia. Meski teks agama menegaskan tak seorang pun yang mengetahui, manusia terobsesi mencarinya. Ini wujud ketakutan manusia akan datangnya kematian.

Setidaknya, isu kiamat pernah muncul pada 9 September 1999 (9-9-99) saat kondisi politik dan ekonomi Indonesia kacau. Isu juga muncul saat perayaan 1 Januari 2000 dengan ancaman kegagalan sistem komputer global. Beberapa sekte keagamaan di Indonesia pernah berusaha melakukan bunuh diri massal demi menyongsong kiamat.

Lanjutkan membaca Kiamat 2012 dan Ketakutan terhadap Kematian

Negri Tawuran

Dalam dongeng pewayangan, kita tak asing diajari dengan pertikaian antara Kurawa dan Pandawa yang berakhir dengan kemenangan di pihak kebaikan. Lalu Majapahit pun pecah dipicu oleh pemberontakan, dan mungkin juga di era pasca kemerdekaan pun negeri ini dihiasi dengan berbagai persoalan ideologi. Dan seterusnya…

Di era yang notabene dipenuhi dengan atribut moderenitas, tawuran pun merebak menghiasi perjalanan negeri ini. KPK vs DPR, KPK vs Polri, hingga di tingkat yang terbawahpun tidak ada henti-hentinya cerita tentang tawuran, seperti : antar kampung yang dipicu persoalan sepele, nonton organ tunggal atau pentas dangdut. Kota yang megah dan metropolis, Jakarta dilengkapi pula tawuran antar preman yang berebut lahan dan kekuasaan. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah TAWURAN PELAJAR yang umumnya diberitakan di kota Jakarta dan kota satelit di sekitarnya (Bogor, Bekasi, Tangerang, dll).

Lanjutkan membaca Negri Tawuran

15 Lagu Wajib Nasional – Uji Coba

CD Cover

3 tahun sudah saya habiskan waktu untuk menggarap sebuah musik konsep, yakni 15 Lagu Wajib Nasional, yang diarransemen memang untuk sebagai alat bantu meningkatkan nilai2 Patriotisme dan Nasionalisme Bangsa. Ke 15 Lagu karya adiluhung putra Bangsa Indonesia ini, ruh nya harus sampai di segenap pelajar Indonesia. Tapi memang ini baru tahap uji coba. Paling tidak di lingkungan kota saya, Bandung. Insya Allah bila tercapai, akan dikomunikasikan untuk pelajar Indonesia.
http://player.soundcloud.com/player.swf?url=http%3A%2F%2Fapi.soundcloud.com%2Ftracks%2F21035734 MARS KEMERDEKAAN by djawilproject

10 Filosofi Orang Jawa

  1. Urip Iku Urup (Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik, tapi sekecil apapun manfaat yang dapat kita berikan, jangan sampai kita menjadi orang yang meresahkan masyarakat).
  2. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara (Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).
  3. Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti (segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar)
  4. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha (Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan)
  5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan (Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).
  6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman (Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja).
  7. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman (Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).
  8. Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka (Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah;Jjangan suka berbuat curang agar tidak celaka).
  9. Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo (Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).
  10. Aja Adigang, Adigung, Adiguna (Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti).

Sumber :  http://djonkjava.blogspot.com/l

MUDIK LEBARAN TRADISI ATAU KEHARUSAN

Lebaran memang sudah lewat dengan meninggalkan berjuta-juta kenangan dan berjuta-juta catatan di rentenir dan pegadaian. Demi apa? Demi menyatukan romantisme sisa-sisa ikatan darah antara ayah dan anak, ibu dan anak, anak dan eyangnya, buyutnya, seseorang dengan teman-teman di kampung, Mungkin  ketika tiba di kampung, seolah-olah sebagai petugas pencatat warga. Mendata semua orang yang pernah terlintas di perjalanan hidup seseorang. Si Minah yang dulu menjadi kembang desa kini menjadi TKW di negeri seberang. Minah selalu mengirimkan uang hasil usahanya ke suaminya yang ditinggal untuk mengurus anak. Lalu si Dudi, teman main layangannya semasa kecil kini sudah lama berlayar. Sebagai awak kapal di sebuah kapal tanker tak pernah pulang. Lalu si Kodir, sekarang sudah disibukkan dengan urusan sebagai kader salah satu partai. Memang mudik adalah mengais-ngais sisa kenangan lama. Kampungnya tidak seperti dulu lagi. Tak ada bedanya orang-orang di kampong dengan kota. Hilir mudik sepeda motor meraung-raung tak henti-hentinya. Gaya hidup kota kini menjelajah kehidupan kampong. 

Mudik adalah sebuah peristiwa yang sangat luar biasa orang-orang rela berdesakan di atas bis yang menghantarkan mereka ke kampong, rela mengantri dalam macetnya jalanan, rela mengorbankan anak sendiri di bawah terpaan ganasnya cuaca musim kering di atas jok sepeda motor, terus bersabar jika di depan ada mobil mogok dan kendaraan kita tak bergerak, rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk segala itu. Jika tidak cukup hati-hati di jalan, korbanpun bisa berjatuhan secara tragis. Yang tersisa hanya tangisan yang sangat menyesakkan.

Lebaran pun usai. Dan kini orang-orang kembali ke kota untuk menuai nasib. Terbayarkah semua yang sudah dikorbankan demi lebaran. Tentu saja jawabannya ada di benak Anda semua.

PILKADA OH PILKADA…

Atas nama demokrasi terbuka, Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah baik di tingkat propinsi maupun di kabupaten/kota muncul sebagai fenomena baru di tanah air ini. Untuk apa? Tidak lain hanya untuk memilih satu dari pasangan calon yang diusung partai. Efektifkah?

Mari kita renungkan sedikit tentang berapa besar dana yang dihabiskan untuk satu kali pilkada di satu kota atau kabupaten. Satu pasangan calon akan menghabiskan dana yang tidak sedikit. Isunya bisa mencapai kisaran 3 sampai 5 M. Belum lagi bila para calon menjual pesona melalui media televise. Kabarnya sekali tayangan bisa berharga puluhan juta. Dari mana uang yang begitu besar itu? Bisa saja dari kantong pribadi (jika memang kaya) atau sokongan para donasi yang tentunya biasanya tidak gratis. Ada kontrak politis. Lalu biaya yang dibutuhkan untuk sekali Pilkada itu berapa di tingkat kota/kab? Kabarnya bisa mencapai 30 M yang dananya bersumber dari ABPD setempat. Lalu bagaimana jika ini di tingkatan yang lebih tinggi, di tingkat propinsi. Pasti akan berlipat-lipat. Tergantung luas propinsi, jumlah pemilih, dll. Sekarang, berapa banyak kab/kota di Indonesia. Sekitar 200 kab/kota. Wow… sebuah angka yang fantastis jika itu semua kita kalikan.

Pertanyaannya apakah ,menjamin terselenggaranya Pilkada di dejumlah daerah akan memajukan daerah itu. Apakah sebanding nilai uang yang dikeluarkan dengan hasil yang dicapai (walikota/bupati baru atau gubernur baru). Apa dampak yang mengarah kepada sesuatu hal yang positif  bagi masyarakat di daerah itu. Tak ada yang bissa menjawab!! Dan tidak tidak lain hanya penguasa baru.

Dana yang begitu mengalir itu, tentunya luar biasa. Jika dibandingkan tingkat kesulitan hidup masyarakat yang terus menerus didera kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok, tentunya sangat ironis. Di lain pihak masyarakat kita berusaha survivel (bertahan hidup), pilkada dengan dana yang luar biasa ini hanya memberi jalan kepada para penguasa baru untuk berlomba-lomba meraih keuntungan dari jabatan barunya.

Kembali masyarakat dihadapkan pada janji-janji manis para jargon nya yang tak kunjung terpenuhi. Sementara para penguasa baru memperluas kongsinya untuk mengembalikan semua hutang yang ditinggalkan dari pilkada. Mungkin beruntunglah jika calon memang terpilih dalam proses itu. Lalu bagaimana yang kalah?

MINUM MIRAS BERJAMA’AH di Indramayu

Wuihhh..ada apa dengan manusia Indonesia masa kini. Koq bisa-bisanya masyarakat petani yang notabene kalangan bawah beramai-ramai menenggak minuman keras (miras) oplosan. Peristiwanya koq bisa-bisanya di saat-saat orang-orang merayakan hari raya idul fitri 1429 H, atau tahun 2008 ini. Ini adalah kedua kalinya terjadi di Indramayu. Tercatat, 10 orang mati konyol , dan 200 orang terkapar di rumah sakit. Pertanyaannya adalah mengapa ini sudah menjadi tradisi. Vodka oplosan dijual murah. Apa mereka frustasi? Apa mereka memang merayakan lebaran? Apa mereka tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.

Gini koq dibiarin. Emangnya gua pikirin? Mana peran lembaga masyarakat desa yang diharapkan menjadi lembaga pengontrol yang dianggap mampu mengendalikan masyarakat.

Penting Nggak Penting…

MUDIK artinya kembali ke udik. Bagi banyak orang, maksudnya pulang ke kampung halaman tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Jauh atau dekat itu relatif. Ada orang yang benar-benar pulang ke kampung tempat orang tua atau aki-nininya lahir, ada pula orang yang sekadar pulang dari Jakarta ke Kota Bandung, tempat ia menyelesaikan SMA. Pulang dari Jakarta ke Bandung, Asep kemudian akan melanjutkan mudiknya ke Tasikmalaya, tepatnya ke kampung Cikoneng, tempat neneknya lahir seratus tahun lalu.

Mengapa orang ingin mudik? Untuk kangen-kangenan? Rasanya bukan itu, sebab banyak orang baru merantau kurang dari setahun ketika Lebaran berikutnya tiba. Kangen? Kecup ibunda di dahi pun belum kering, kok sudah kangen? Menghabiskan hari libur? Nah, alasan ini barangkali lebih kena bagi sebagian besar di antara kita. Normalnya hanya pada Idulfitri kita menikmati libur cukup panjang yang diperhitungkan sebagai cuti bersama. Ditambah dengan cuti pribadi yang digabungkan, kita punya waktu luang kira-kira satu atau dua minggu. Maka, kita mudik.

Mudik dimulai dengan memperebutkan karcis bis atau kereta api ekonomi dan mempersiapkan mobil pribadi bagi orang kaya. Kenikmatan setelah mencapai tujuan biasanya cukup untuk menghapus segala jerih payah dan perjuangan kita. Saran tahun ini hanya agar jangan membawa barang banyak-banyak, sebab di kampung sekarang apa pun sudah tersedia, mulai dari jelly drink, biskuit aneka merek, sirup, sampai sandal dan sarung. Bawa saja uangnya, sekalian untuk mentraktir keponakan-keponakan naik odong-odong nanti.

KITA pasti disambut dengan suka cita oleh mereka, keluarga kita sendiri, handai tolan, dan para tetangga. Ibu akan memasak sayur lodeh satu panci dan menggoreng ayam serta membuat tape ketan. Setelah memeluk kita, ibu akan menangis dan mulai bercerita. Tentang Pak Maskip yang anaknya diterima menjadi taruna Akabri di Magelang, tentang Bu Sri yang uangnya dilarikan penyelenggara arisan Lebaran, tentang Surti yang hamil sebelum menikah, tentang Akiong yang ketagihan ekstasi, dan tentang Iis yang ibunya beberapa kali menanyai kita sudah kawin atau belum. Mata ibu sekali lagi berkaca-kaca saat kita berkata sudah naik pangkat dan naik gaji bulan lalu.

Ayah tiba-tiba kini menjadi pendiam dan pendengar yang baik. Kita tahu ayah bangga, tetapi ia gengsi menitikkan air mata. Ayah sesekali cuma menjawab dengan satu-dua patah kata bernada rendah guna menjaga wibawa. Ayah tidak berubah kecuali bertambah tua. Dengan tetap memakai kacamata lama berbingkai batok kura-kura ia tampak lebih tua lagi. Setiap kali mudik kita membelikan ayah kemeja batik baru, tetapi ayah mengenakan kemeja batik yang sama pada setiap hari raya selama lima tahun terakhir ini. Ayah juga menyandang celana panjang, sabuk, sandal, dan peci lama bila pergi salat Id. Sajadah yang digelar ayah adalah sajadahnya sejak belum menikah.

 Kakak tersenyum sinis tertahan melihat kita. Bila ada kesempatan ia akan sekali lagi mencercah gaya hidup orang kota. Kakak sama konservatifnya dengan ayah, namun banyak bicara seperti ibu.

Adik, jelas, akan minta duit. Ia tidak mau dibelikan pakaian atau makanan. Dengan duit ia dapat membawa pacarnya makan bakso atau minum es campur. Adik pun lebih suka memilih dan membeli pakaiannya sendiri, kaus oblong ungu bersablon “Metallica”, celana jins low-waist yang mempertontonkan celana dalamnya, serta dompet berantai anjing. Kita seakan-akan menatap diri sendiri pada masa muda saat memandangnya. Kita lebih senang jika ia bergaul dengan Saodah yang berkerudung, tetapi adik mengaku sekarang berpacaran dengan Rina yang rambutnya disemir hijau dan biru serta bersepatu boot. Kita lantas lekas-lekas mencari waktu guna menitipkan nasihat kepada adik.